Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mensinyalir ada indikasi penyimpangan anggaran dalam program Bantuan Sosial (Bansos) di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) sebesar Rp 63 miliar.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Negara PDT No.18 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Bantuan Sosial Kepada Daerah Tertinggal dan desa tertinggal di Lingkungan Kementerian Pembangunan Daerah adalah bertujuan untuk mengurangi permasalahaan daerah, memberdayakan masyarakat, dan berkurangnya kesenjangaan sosial antara masyarakat. “Kalau melihat realisasi anggarannya dalam konteks program Bansos, pasti akan tersedak, sesak nafas, dan juga sangat mengesalkan sekali bila melihat adanya potensi penyimpangaan sebesar Rp 63.005.924.868 di Kementerian PDT,” kata Kordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky Khadafi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (18/11/2012).
Adanya potensi penyalahgunaan anggaran dalam proyek tersebut dapat dilihat dari alokasi anggaran sebesar Rp 57,8 milyar yang tidak berdasarkan Proposal atau Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Lokasi penerimaan Bantuan, Surat Perintah Kerja (SPK), dan Berita Acara Serah Terima (BAST) pekerjaan. “Contoh bansos untuk daerah yang berpotensi penyimpangan sarana air bersih di Kabupaten Morowali sebesar Rp300 juta, air bersih di Kabupaten Lebong sebesar Rp298 juta, sarana air bersih di Halmahera Timur sebesar Rp313 juta, air bersih Kabupaten Pasaman Barat sebesar Rp493 juta, dan paket dermaga di Muna sebesar Rp396 juta,” paparnya.
Uchok mencontohkan daerah yang berpotensi menjadi “lahan” penyimpangan diantaranya proyek jalan desa di Kabupaten Lombok Timur senilai Rp325 juta, serta pasar desa di Kabupaten Alor sebesar Rp663 juta.
Dari Gambaran tersebut, FITRA berharap agar aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, atau Kejaksaan segera melakukan penyelidikan terhadap kasus Bansos di Kementerian PDT itu. “Oleh karena penyataan opini hasil audit BPK semester I tahun 2012 sudah jelas menyatakan bahwa pengeluaran anggaran sebesar Rp63 miliar yang tidak didukung dengan bukti pertanggung jawaban yang lengkap dan sah berpotensi terjadi penyimpangan,” kata Ucok.