Pemerintah Indonesia belajar dari kesuksesan Turki, Rumania, Polandia, dan Ukraina melakukan redenominasi mata uang guna menghindari kegagalan 1965.Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto mengatakan untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Redenominasi Mata Uang, pemerintah belajar dari pengalaman negara-negara lain.
“Bukan hanya belajar dari negara yang berhasil, juga yang gagal, seperti Rusia, Argentina, Brasil, dan Zimbabwe,” kata Agus di kantornya.
Agus mengatakan dalam upaya menerapkan redenominasi, Turki sempat mengalami hiperinflasi karena denominasi uang yang berlaku sebelumnya sangat besar hingga mencapai nilai 1.000.000 lira.
Adapun pelajaran yang dapat dipetik dari negara-negara gagal adalah tidak tepatnya waktu pelaksanaan redenominasi. Di Zimbabwe, misalnya, redenominasi dilakukan saat perekonomian tidak stabil dan bank sentralnya terlalu banyak mencetak uang baru. Akibatnya, hiperinflasi tidak terelakkan.
Agus mengatakan redenominasi merupakan wacana lama yang makin didalami sejak 2011. Timing tersebut dinilai tepat karena perekonomian Indonesia dinilai dalam kondisi yang cukup stabil dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% dalam 5 tahun terakhir dan tingkat inflasi yang cenderung terkendali.
“Yang utama untuk menyederhanakan denominasi, karena dengan dominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam transaksi jual beli dan akuntansi,” ujarnya.
Selain itu, redenominasi diharapkan dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap rupiah, karena nilai rupiah dibandingkan mata uang negara lain tidak terlalu rendah.
“Tidak pantas kalau US$1 jadi Rp9.000 sekian. Redenominasi kita harap memberikan rasa proud atas mata uang kita yang merupakan simbol stabilitas ekonomi suatu negara,” kata Agus.
Redenominasi juga dinilai Agus memberikan dampak positif terhadap aktivitas akuntansi yang berkaitan dengan teknologi komunikasi. Pasalnya, dengan denominasi yang terlalu besar, sistem IT membutuhkan memori yang besar juga.
“Dan banyak alat yang tidak cukup digitnya, seperti kalkulator,” tuturnya.